Ambivalensi Ibn Taymiyyah Terhadap Ajaran Sufistik:Refleksi atas pemikiran Ibn Taymiyyah

Tasawuf telah menjadi kekuatan yang paling dominan dalam hal membentuk masyarakat Islam khususnya sejak abad ke 10 dan 11 Masehi di Nishapur, India. Manifestasi tasawuf yang kita anggap normatif saat ini tumbuh dari sintesis luas dan gerakan mistik awal yang menyatu di Nishapur. Sintesis mistik besar ini diartikulasikan secara ringkas oleh Abu abd al-Rahman al-Sulami (W. 412/1021) dan Abu al-Qasim al-Qushairy (W. 465/1074).

 Mereka adalah sarjana Hadits dan serta ahli hukum di mazhab Syafi’i yang berusaha mengintegrasikan antara tasawuf dan ilmu pengetahuan tentang studi Hadits, Upaya yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut berimplikasi pada penemualan inspirasi dan kontur umum ajaran tasawuf dari dua sumber utama pemikiran Islam, yaitu Al-Qurʾan dan sunnah. Hal ini dapat dilihat dari al-Sulami dan al-Qushairy yang menggunakan kaidah-kaidah ilmu Hadist untuk membangun silsilah tasawuf serta otoritasnya sebagai diskusi islam dan juga ereka menggunakan konvensi hadis untuk menyusun dan menyajikan pernyataan dari nenek moyang awal tasawuf, yang terutama berasal dari Irak dan Hijaz pada abad kesembilan Masehi.

Ikhtiar ini mengantarkan ajaran tasawuf sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri dalam tubuh Islam. Namun demikian, ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya tidak terlepa dari kritikan para cendikiawan, salah satunya adalah Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul al-Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani (Selanjutnya: Ibn Taymiyyah)

Kritik Ibn Taymiyyah terhadap Ajaran Tasawuf

Ibn Taymiyyah (W. 728/1328) adalah seorang cendikiawan yang dikenal karena serangannya yang tak henti-hentinya terhadap apa yang dia anggap sebagai bidah agama di kalangan Muslim pada masanya. Serangkaian praktik yang tersebar luas di kalangan umat Islam turut menjadi objek kritik yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran orsinil Islam, beberapa di antaranya terkait dengan tasawuf, seperti tawassul (mencari campur tangan seorang wali), mengunjungi makam para wali dan para nabi, dan institusi syekh sufi (pembimbing spiritual).

Kritik-kritik yang dilontarkannya tidak terlepas dari masa hidupnya yang dipenuhi gejolak sosial dan politik setelah invasi Mongol ke Timur Tengah. Di samping itu, kritiknya tidak menunjukkan bahwa dia lebih fideistik terhadap hadis daripada para Sufi, tetapi, dia lebih cenderung ke arah konstruksionis ketat terhadap interpretasi hadis. Pemikirannya tersebut tercermin dari salah satu muridnya Ibn Qayyim al-Jauzi (w. 750/1351).

Ibn Qayyim al-Jauziyyah memiliki pandangan bahwa kepercayaan dan ritual keagamaan harus dianggap salah kecuali terbukti sebaliknya. Begitu juga Sebaliknya, kontrak dan interaksi pribadi diperbolehkan kecuali terbukti pelarangannya. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan mayoritas yang menerapkan skala lima poin yang sama tentang kebolehan (al-aḥkām al-khamsa) untuk ritual keagamaan seperti halnya untuk urusan ekonomi. Dengan demikian, Baik Ibn Taymiyya maupun Ibn Qayyim menunjukkan konservatisme radikal sehubungan dengan interpretasi hadis yang tidak diadopsi oleh sebagian besar sarjana Muslim.

Sebagaimana yang telah diurai di atas, perlu dipahami bahwa pandangan Ibn Taymiyyah yang konservatif merupakan reaksi atas kondisi sosiallnya yang dimana ia berusaha meng-counter ancaman besar yang ditimbulkan oleh invasi Mongol terhadap peradaban Islam. Dan perlu dicatat juga, tidak semua ajaran tasawuf dikritik oleh Ibn Taymiyyah. Bahkan di berbagai kesempatan ia memberikan pujian terhadapnya.

Pujian terhadap kaum sufi

Ibn Taymiyyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa mengatakan bahwa kaum sufi merupakan orang-orang yang berusaha secara tulus nan bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, sebagaimana kelompok Muslim lain yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan. Diantara mereka juga adalah yang terdepan dan terdekat dengan Allah sesuai dengan kesungguhan mereka. Di antara mereka juga ada pula yang sedang-sedang saja yang juga kadang melakukan kesalahan. Kelompok yang ini dinamakan ahl yamin. Di antara mereka juga ada orang yang melakukan dosa lalu bertaubat ataupun belum bertaubat.

Berdasarkan uraian di atas, Ibn Taymiyyah menempatkan kaum sufi sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah karena ketulusan serta kesungguhannya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, izinkan penulis untuk memaparkan refleksi atas sikap Ibn Taymiyyah terhadap ajaran tasawuf. Sikap ambivalensi yang dihadirkan Ibn Taymiyyah terhadap kaum sufi yang di satu sisi mengkritik ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya, di sisi lain memberikan pujian atas upayanya yang tulus dan sungguh-sungguh dalam menggapai kedekatan kepada Allah. Sikap di atas tidak lebih dari sekedar upayanya dalam memurnikan ajaran-ajaran tasawuf yang dianggapnya melenceng dari syariat. Bahkan beberapa sarjana Islam berpendapat bahwa baik Ibn Taymiyyah sendiri adalah Sufi yang menjunjung tinggi ajaran etika tasawuf .


Untuk saudara - saudara yang ingin berpartisipasi dalam pengembangan pesantrenpedia dapat mengirimkan donasinya ke : https://saweria.co/pesantrenpedia


Bagikan :
Penulis
Foto User
Arif Muhammad Hasibuan

(hasibuanarif98@gmail.com)

Ad