Halal bi Halal atau Halal bi Haram?
Minta maaf,
memaafkan, dan silaturahmi pada umumnya dilakukan oleh umat muslim setelah Lebaran.
Lebaran, bisa dimaknai dengan "pelebaran", artinya membuka selebar-lebarnya
hati untuk memaafkan dan meminta maaf kepada sesama.
Sebagian orang, ada
yang baru minta maaf setelah lebaran bahkan ada juga yang enggan meminta maaf.
Padahal, Allah swt., tidak menyukai hambanya yang saling bermusuhan, begitupun
Nabi Muhammad saw. dalam hadisnya berpesan bahwa, "Tidak halal bagi seorang
mukmin untuk tidak bersapaan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga
hari". (HR. Muslim, No. 2561).
Salah satu kearifan
lokal di Indonesia dan telah menjadi ciri khas yang dilaksanakan pasca Lebaran ialah
Halal bi Halal. Halal bi Halal merupakan ajang kumpul-kumpul bersama dan
dilaksanakan hampir semua umat Islam Indonesia, bentuk kegiatannya
bermacam-macam, ada melaksanakan dengan makan bersama, dengar ceramah, dengar
musik rebana dan sudah biasa terlihat di mana-mana seperti di Kantor, Sekolah,
Masjid dan lain sebagainya.
Halal bi Halal adalah
istilah dalam bahasa Arab, tetapi arti kata itu tidak ditemukan dalam kamus
bahasa Arab melainkan terdapat dalam kamus bahasa Indonesia yang di maknai
dengan kegiatan maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan.
Berdasarkan sejarah,
Halal bi Halal di gagas oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah karena dimintai pendapat
oleh Presiden Soekarno karena Indonesia pada waktu itu dilanda gejala
disintegrasi bangsa. Maka, diberilah kegiatan silaturahmi setelah hari raya
Idul Fitri di Istana Negara dengan nama "Halal bi Halal", thalabu halal bi
thariqin halal (mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan
hubungan dengan cara mengampuni kesalahan). Sejak saat itulah,
instansi-instansi pemerintah dan warga masyarakat secara luas mengadakan Halal
bi Halal.
Acara Halal bi Halal
tidak wajib tapi boleh dilakukan. Akan tetapi, bercampur baurnya antara pria
dan wanita dalam kegiatan tersebut tidak dapat dihindari. Maka, apabila ada pelanggaran
syariat yang diperbuat oleh sebagian orang dalam acara tersebut, apakah itu
bisa disebut Halal bi Halal?. Tentu tidak, maka menurut saya inilah yang
disebut dengan "Halal bi Haram". Mengapa?, acaranya halal karena adanya
silaturahmi lantas dibarengi dengan perbuatan buruk, seperti mengabaikan azan,
meninggalkan salat, bahkan memanfaatkan kesempatan berduaan dan bermesraan
dengan pria atau wanita non-mahram (berpacaran) dengan dalih ingin berjabat
tangan saja tapi kenyataannya lebih dari itu.
Empat imam mazhab
fikih sepakat mengharamkan bersentuhannya laki-laki dengan wanita non-mahram.
Mazhab Hanafi dan Maliki mengharamkan secara mutlak. Mazhab Syafii memberikan
pengecualian jika memang dalam kondisi darurat, seperti operasi yang dilakukan
dokter terhadap pasien dan sebagainya. Mazhab Hanbali memperbolehkan laki-laki
memandang wanita lansia, tetapi tetap tidak boleh menyentuhnya.
Jika berpedoman pada
pendapat ulama salaf, memang tidak ada toleransi yang memperbolehkan untuk
berjabat tangan dengan non-mahram. Namun, ulama kontemporer mengembangkan hukum
fikih ini pada fikih aulawiyat.
Menurut Yusuf
Qardhawi, dalam Kitab Fatawa Muashirah, memberikan dua pendapat.
Pertama, haram hukumnya jika berjabat tangan dengan syahwat atau taladzdzudz
(menikmati hal tersebut) dari salah satu pihak. Kedua, dibolehkan berjabat
tangan dengan wanita tua (lihat QS. An-Nur/24: 60) dan laki-laki tua yang sudah
tidak punya gairah. Demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum balig
karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah.
Lantas, sikap
seperti apa yang harus dilakukan ketika kita mendapat uluran tangan lawan
jenis?. Tentu, kita tidak ingin dikatakan sombong. Yusuf Qardhawi
berpendapat, bahwa boleh jika tidak disertai syahwat dan aman dari fitnah. Akan
tetapi jika kedua syarat itu (tidak adanya syahwat dan aman dari fitnah) tidak
terpenuhi, maka hukumnya haram meskipun kita berjabat tangan dengan mahram. Kedua,
hendaknya berjabat tangan itu sebatas kebutuhan saja demi menjauhi keburukan,
mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. sebagaimana dalam riwayat
hadis dari
Aisyah ra., mengatakan, "Tangan Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah
menyentuh wanita selain wanita yang beliau miliki (isterinya)". (Lihat
lebih lengkap dalam Shahih Bukhari, Nomor Hadis 7214, Juz 9, Hal. 80). Wallahu
A'lam.
Dengan demikian, Halal bi Halal harus dilakukan dengan cara yang halal dan tidak melanggar syariat Islam, mulai dari makanan dan minuman yang halal hingga silaturahmi yang halal pula antara pria dan wanita. Karena, Halal bi Halal telah menjadi istilah khas dan menjadi budaya Indonesia, di mana tujuan dari Halal bi Halal adalah merajuk kembali persatuan dan kesatuan secara hakiki, merajut kembali hubungan yang membeku dengan cara saling memaafkan dan menyadari kekhilafan masing-masing yang selama ini mungkin terganggu. Sebenarnya, minta maaf kepada sesama manusia itu dilakukan setiap saat, bukan hanya setelah Lebaran saja karena kita sebagai manusia terkadang luput dari kesalahan. Halal bi Halal betul-betul sudah menjadi aset bangsa yang perlu dilestarikan dan janganlah menodainya dengan perbuatan tercela. Wallahu A'lam bi Al-Shawab.
Sumber: Amdar, Fikri Haekal Amdar. "Halal bi Halal atau Halal bi Haram?".
FAJAR, hal. 06.
Untuk saudara - saudara yang ingin berpartisipasi dalam pengembangan pesantrenpedia dapat mengirimkan donasinya ke : https://saweria.co/pesantrenpedia